11/20/2009

...tidak pernah selesai

~ Seorang jejaka yang dimabuk cinta duduk merentang kaki dan berkata dengan keras, “cinta adalah kekuatan yang telah disabda Tuhan, sehingga gunung-gunung tinggi akan merendah karenanya, sedangkan jurang yang curam akan tampil kepermukaan. Karena kalah bercinta maka ia akan terusir dari hatinya.” (Serat Joko Lodhang-184 M) ~

Hmm ingin rasanya membacakan buku-buku ini untukmu Hubby, betapa kamu tahu kisah cinta anak manusia sudah begitu melekat sejak adanya jaman, coretan-coretan indah para Empu pada Ron seakan tak cukup untuk diterjemahkan semalaman dibawah pohon randu dengan secangkir kopi tubruk dari warteg sebelah. ”Kamu memang telah banyak menemukan berbagai macam Kopi disana, tapi kamu belum pernah menikmati kopi yang sangat harum sesedap senyum mbak-mbak warteg yang sedang diapelin satpam sebelah.
~
Jika dibayangkan, kamu duduk menyimak dibawah pohon randu dengan ron-ron berjatuhan oleh semilir angin, suaraku yang mendayu-dayu bak tembang ’Lalitavistara’ mulai membiusmu kedalam hayalan kisah Saraswatyai. Dewi dengan tabir cintanya yang penuh filosofis, sesekali terdengar kamu menyeruput nikmat kopi si mbakyu tadi bby.
Tak dinyana diujung sana sang purnama mengurai senyum, cekiki’an mendengar sebutanmu dariku.
”Empu Kolong Langit tak pernah kehabisan pitutur, apalagi hanya untuk menciptatan sebuah asmo ingkang bagus kagem kangmas...*lagi-lagi sambil cekiki’an* asmo Jawa ora bakal kenthe’an adat nduk, lha kok sliramu malah bangga karo asmo Londo”. Mendengar ocehan Bulan yang lengkap dengan lukisan kelincinya hatiku tertawa geli, kenapa bulan bisa sedetail itu tapi aku pura-pura menjawab seperti anak pinter ”Hai Bulan yang mengintip tanpa permisi, tahukah kau bahasa Inggris? Hubby berarti Hunny Bunny nan berarti orang yang disayangi? Dan kalimat sapaan ini cukup simpelkan?tanyaku lagi. Tapi Bulan tak berguman, hanya cahayanya semakin terang seakan memenuhi segala makhluk dengan gemilang.

Kita berdua, aku dan kamu jadi berdiam diri dilincak bambu yang warnanya mulai kusam. Semilir bayu masih berhembus, wajahku bak dibebani duka cita dan ketololan apalagi disebelahku tampak asik sier-sier tanpa rasa keingintahuan apakah hal yang membuatku sepi.

Yang tadinya membara kini gelap gulita, diri terikat tanpa larik-lirik syair lagi. Menatap penuh pertanyaan mengapa Kodok tak bisa menikmati wanginya bunga tanjung meskipun bermalam-malaman tinggal ditempat yang sama, mengapa sang Kodok juga tak bisa melihat keindahan bunga teratai?
Dan jawaban yang kutemukan adalah...Aku tak ubahnya seperti kodok itu.
Bukan hanya merasakan diri tak ubahnya bagai kodok, tapi juga terkadang berubah menjadi Kerbau yang dungu ditaman Bidadari, meski indahnya memercik kesegenap penjuru tapi aku merasa tak memilikinya.
~

Menatap garis wajahnya yang bertengger di batang randu, seakan pergi ke Firdaus membawa kegundahan tadi sembari diiringi petikan siter oleh Yugho sang Dalang.
Entah angin apa yang membawaku menjadi prajurit perkasa yang setiap saat legowo membelamu padahal parasku bak juwita memikat. Legowo menggapai pengetahuan sing bener-bener enggal, waduh Gusti kalau semangat ini dibunuh, tentu saja akan hancur lebur luluh lantak membuat badan lesu tho Gusti Pangeran. Seakan perjalanan ke Nirwana terselimuti was-was, kebingungan antara gairah dan kepupusan, dadaku terpegang erat-erat dimanjakan karena takut bahaya menggoncang! bahaya yang menggoncang isinya "sing jero pisan". KarmendriyaKu, jalan menuju sukmaku sudah ditengah-tengah...jadi jangan digagalkan Gusti.

~
Sambil mengawang, aku laksana terbang dan tenggelam pada lautan cinta yang membara. Siapa setiap Insan yang tidak ingin menjaga 'jerohan hatinya', apapun bentuknya kalau sudah tertanam dihalaman kalbu pasti akan dirumatnya. Menempuh jurang yang dalam, daratan yang luas atau sedemikian keraspun tantangan itu pasti akan aku lewati..bahkan saat aku memaksakan diri dengan bahasa terbata-bata mencoba menuliskan syair untukmu.

Kamu masih bersender dibatang Randu seperti malam, diam. Duh Gusti, semua hening seperti tirakat, lintang-lintang diangkasa bahkan tak takut dirinya dianggap kunang-kunang saking redupnya, tak ada terang temarang, cerlang cemerlang kian tak nampak lagi. Kesemua cahaya hanya berbinar dalam hati, tak lagi memenuhi segala makhluk. Ini bukan jaman kegelapan Kawula Gusti, hanya kecemasan sekejap seorang yang merasa menuju Firdaus dengan segudang pertanyaan. Sampai ketakutan jika sampai Firdaus aku lupa semua yang ingin aku tanyakan.
~

Oh Bumi, sudikah engkau menelanku dalam-dalam, segala sesuatu lebur, hilang bentuk, dan hilang rupa. Segala sesuatu yang tersimpan dalam batin habis Gusti, hati bagai tiada lagi pemimpin, saat menuju pengaduan hatiku 'Firdaus' dan aku menoleh sejenak kebawah, menengokmu. Tak salahkah paningalku ini Gusti, Dalem mersani 'Munyuk' gelantungan! iya, didahan Randu. Salahkah jika perumpamaanya adalah 'munyuk' atawa Monyet Gusti? bathenku sesek tenggelam dikekelaman hati Gusti...duh Biyuung, setelah tertatih bangkit dari aungan Macan dengan kekuatan Wisaya, sekarang malah terperangkap dalam kandang bermonyet.

Kini, setiap kata yang tergores, ungkapan-ungkapan yang aku catat timbul oleh perasaan cinta yang tercampur dengan kebingungan. Sayub-sayub selendang perjalananku merangkai pertanyaan, mengapa sang Guru besar mengatakan 'aku adalah tulang rusuk dari sang kekasih jiwa' lalu, apakah adinda ini tulang rusukmu yang terbuang?? dan menjadi serpihan-serpihan, laksana perahu diatas air, TUMPAH! perahu miring, berjalan goyang dengan ombak menerjang. "Aku..terbang dan terjatuh".
Apa aku harus kembali kebawah pohon Randu dengan rasa kalah dan malu?.

Tidak ada komentar: