9/21/2008

Inspirasi Mbah Mardi & Mbah Ginem

Hmmm sebelum memulai menuliskan uneg-uneg ini ada baiknya jika aku menjelaskan sedikit tentang perubahan blog ini, seputar blog yang aku tulis tentunya. Aku ingin memulai mengkhususkan tulisan blog ini tentang berbagai pengalaman hidup, bukan berarti tentang hal lain mulai tidak penting bagiku...soal cinta, gaya hidup dan bla bla bla tentunya sudah banyak dituliskan orang lain. Disini aku juga tidak ingin sesuatu hal yang nampak heboh apalagi saling berlomba-lomba menghias blog, berkomentar dan yang lainnya. Blog ini aku dedikasikan terutama pada diri sendiri sebagai pengingat bahwa hidup yang aku miliki sangatlah lebih dari cukup dan patut disyukuri.
Tentu saja hidup yang aku miliki sangat patut untuk disyukuri, berulang kali mengingat kadangkala betapa sombongnya dan tak pernah merasa cukup atas apa yang aku dapat, apalagi ketika melihat kekanan dan kekiri, sekeliling selalu nampak bergelimang. Gaya hidup manusia modern yang serba kurang dengan adanya hal-hal baru dan masih banyak lainnya, hingga kadang-kadang lupa bahwa jauh dibelakang sana masih banyak sodara-sodara ku yang masih sangat kekurangan dalam hidupnya. Saat melihat kisah hidup sepasang manusia yang telah lanjut usia, Mbah Mardi dan Mbah Ginem tanpa terasa air mataku tak bisa ditahan, dengan usia yang tak muda lagi mereka harus tetap berjuang untuk hidupnya, sangat berseberangan dengan gaya hidup seorang eyang yang kaya raya -ini hanya sebuah perbandingan disisa hidup mereka yang dihabiskan untuk berjalan-jalan keliling dunia, memburu barang koleksi atau sekedar mengecek beribu-ribu anak perusahaan, ya ini memang bukan sebuah kesalahan karena hidup, rejeki,jodoh dan mati sudah ada yang mengatur, hanya saja disini aku ingin menggambarkan bahwa kadang-kadang nasib dan keberadaan itu terlihat tak adil (terilhat bukan berarti bukan).
Mbah Mardi hanyalah pembuat cobek, bayangkan cobek yang terlihat sepele dan murah itu harus dibuat dari batu yang berasal dari bukit-bukit batu yang jaraknya berkilo-kilo meter dari rumahnya, panas terik tak membuat semangat itu menyerah, dengan sebuah linggis besi dimulailah memecah sampai memahat batu tersebut menjadi cobek. Diusianya yang rentan itu sehari hanya mampu menghasilkan 2 sampai 3 cobek, ketika cobek itu selesai maka Mbah Ginem yang menjualnya ke pasar, denga menggendong cobek batu dan berjalan kepasar yang jaraknya tentu saja tidak dekat Mbah Ginem hanya memperoleh uang 11 ribu, hhhmmm uang segitu terasa tak sebanding dengan waktu tenaga dan perjuangan membuat cobek tersebut. Bila diingat dalam sehari aku bisa membuang uang 10 ribu hanya untuk membeli sebuah minuman ringan, atau membeli pulsa, hhhmm aku menyebutna nilai uang yang sedikit.
Mbah Mardi dan Mbah Ginem tak mampu membeli beras, sehingga mereka makan hanya dengan tiwul - tiwul adalah makanan yang terbuat dari singkong yang dikeringkan- bagi kita makan tiwul memang enak karena kita menyebutnya camilan, tapi bagi mereka itu adalah makanan pokok yang dikonsumsi setiap hari, jadi dimana gizinya? kehidupan Mbah Mardi dan Mbah Ginem hampir tak bisa dibedakan dengan hidup pada masa zaman penjajahan. Melihat ini hatiku kelu, bagaimana tidak..setiap hari aku bisa dengan mudah membeli makanan yang aku inginkan, bisa sekali mengeluarkan lembar puluhan ribu hanya untuk satu jenis makanan atau sekedar minum kopi dan tragisnya makanan itu cenderung tak habis aku makan dan akhirnya aku buang, ah betapa buruknya kebiasaanku.
Mbah Mardi dan Mbah Ginem memang tampak mensyukuri hidupnya sepertinya hidupnya tanpa banyak keluhan, tak sepertiku yang terlalu banyak betenya karena kurang ini itulah, satu handphone tak cukup, tak ada internet kelimpungan, anyak baju masih saja kurang..hhhhh hadoohhh parahlah.
Insya Allah dengan melihat pengalaman hidup Mbah Mardi dan Mbah Ginem hidup dan kebiasaanku semakin membaik, terimakasih Mbah Mardi dan Mbah Ginem.
Semoga Allah selalu menjaga.